menu melayang

Selasa, 11 Mei 2021

TOLERANSI ANTARUMAT BERAGAMA: IDULFITRI DAN KENAIKAN ISA ALMASIH JATUH PADA HARI YANG SAMA

 

Sumber: viva.co.id

Pemerintah telah menetapkan Idulfitri 1442 H pada kisaran tanggal 13 dan 14 Mei 2021, yang bertepatan dengan Kenaikan Isa Almasih pada tanggal 13 Mei 2021. Hal ini tentunya menjadi momen yang unik, mengingat umat dari berbagai agama yang berbeda, yaitu Islam, Kristen, dan Katolik, akan merayakan hari besar mereka masing-masing pada tanggal dan hari yang sama.

Idulfitri merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh umat Islam sebab hari tersebut merupakan hari kemenangan bagi mereka setelah berpuasa selama satu bulan penuh. Walaupun pemerintah melakukan pembatasan libur Lebaran dan pelarangan mudik karena adanya pandemi Covid-19, perihal tersebut tidak menjadi kendala untuk tetap menjalin silaturahmi dengan keluarga. Tentunya hal ini tidak lepas dari kemajuan teknologi di bidang komunikasi, apalagi saat ini media untuk melakukan video conference, seperti WhatsApp, Zoom, Webex, dan lain-lain, tengah digandrungi masyarakat dalam melaksanakan komunikasi jarak jauh.

Terkait pelaksanaan salat Idulfitri sendiri, ada beberapa daerah yang masih belum bisa menunaikan ibadah tersebut di tempat yang ramai, seperti masjid maupun lapangan. Sebagai gantinya, pelaksanaannya dapat dilaksanakan di rumah masing-masing agar penyebaran Covid-19 tidak semakin parah. Untuk daerah yang telah diizinkan untuk melaksanakan salat Idulfitri secara berjamaah, pemerintah mengimbau agar selama pelaksanaan salat tersebut, masyarakat senantiasa menjaga jarak dan mengikuti protokol kesehatan sesuai peraturan yang ada.

Sementara itu, Kenaikan Isa Almasih adalah peristiwa yang terjadi empat puluh hari setelah Kebangkitan Yesus Kristus. Peringatan ini selalu dirayakan empat puluh hari setelah hari Paskah dan tahun ini jatuh pada tanggal 13 Mei 2021. Bagi umat Kristen dan Katolik, makna dari peringatan Kenaikan Isa Almasih ke surga merupakan pemuliaan Yesus Kristus setelah kematian dan kebangkitan-Nya.

Peristiwa dua hari besar agama yang berbeda, yang jatuh pada hari dan tanggal yang sama, sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Peristiwa semacam ini pada dasarnya dapat menunjukkan kualitas toleransi antarumat beragama di Indonesia. Masyarakat Indonesia sendiri pun seharusnya sudah terbiasa untuk bergaul dengan warga yang berbeda agama, dengan tetap menjunjung sikap saling menghormati dan menghargai pilihan serta kebebasan beragama masing-masing individu.

Contoh peristiwa lain yang pernah terjadi adalah peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. bagi umat Islam dan hari Natal bagi umat Kristen, yang jatuh bersamaan pada tanggal 24 dan 25 Desember 2015. Pada momen tersebut, terlihat sikap toleransi antarumat beragama di beberapa tempat di Indonesia, salah satunya pada sebuah daerah di Cirebon. Pemuda Cirebon menggunakan momen tersebut untuk saling membantu dalam mempersiapkan acara, seperti mengangkat kursi maupun memeriksa sound system agar dua acara keagamaan tersebut dapat berlangsung dengan lancar.

Momen kerukunan antarumat beragama lainnya juga tercermin pada tahun 2012 lalu, Ketika hari raya Nyepi bertepatan pada hari Jumat sehingga hari raya umat Hindu tersebut berbarengan dengan pelaksanaan ibadah salat Jumat oleh umat Islam. Hal ini sempat menjadi persoalan bagi kedua umat tersebut pada waktu itu. Pada hari raya Nyepi, umat Hindu di Bali harus melaksanakan Berata Penyepian secara khidmat, sedangkan umat Islam juga harus menunaikan ibadah salat Jumat, terutama bagi muslim laki-laki.

Pemkot Denpasar yang menjabat saat itu pun mengambil kebijakan dan mengimbau agar umat Islam melaksanakan ibadah salat jumat di masjid terdekat saja. Tidak hanya itu, mereka juga diimbau agar pengeras suara masjid lebih diarahkan ke dalam selama khatib mengumandangkan khutbah sehingga tidak mengganggu pelaksanaan Berata Penyepian yang dilaksanakan oleh masyarakat yang beragama Hindu. Masalah seperti ini tentunya tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya koordinasi dari tokoh pemerintah masing-masing agama, serta kerja sama dan kepatuhan dari masyarakat.

Di Bali sendiri juga terdapat sebuah tempat yang menjadi simbol kerukunan antarumat beragama di Indonesia, yang bahkan juga menjadi destinasi wisata bagi turis domestik maupun mancanegara. Tepatnya berada di Nusa Dua, Bali, terdapat sebuah tempat bernama “Puja Mandala”, tempat yang sangat unik karena lima rumah ibadah sekaligus dibangun dalam satu komplek tanah. Adapun rumah ibadah tersebut adalah Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Wihara Budhida Guna, Gereja Kristen Protestan Bukit Doa, dan Pura Jagatnatha.

Dengan melihat banyaknya simbol kerukunan antarumat beragama dan sikap toleransi yang berkembang di masyarakat, Raja Salman – Raja Arab Saudi – sempat memuji kerukunan antarumat beragama di Indonesia dalam acara silaturahmi dengan 28 tokoh lintas agama di tanah air pada bulan Maret 2017 silam. Beliau mengatakan bahwa stabilitas Indonesia merupakan hasil dari semangat toleransi dan hidup berdampingan di antara semua lapisan penduduk Indonesia. Sang raja juga mengimbau agar masyarakat terus memperkuat nilai-nilai toleransi dan menjalin komunikasi antarumat beragama sebagai upaya dalam memerangi segala bentuk radikalisme dan ekstremisme yang telah menjadi isu permasalahan global hingga saat ini.

Namun, apakah realita di atas sudah cukup menjelaskan bahwa dinamika pelaksanaan kerukunan antarumat beragama di Indonesia berjalan dengan baik dan mulus? Sayangnya, banyak kejadian atau peristiwa yang di sisi lain justru mencoreng dan memutarbalikkan semua pujian yang telah diberikan Raja Salman sebelumnya.

Salah satu contoh peristiwa yang mencoreng kerukunan umat beragama dan baru-baru ini terjadi adalah pengeboman Gereja Katedral di Makassar pada Minggu (28/3/2021). Tentunya peristiwa pengeboman ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Aksi teroris semacam ini telah terjadi semenjak tahun 1967, yang tercatat pada pemberitaan Kompas, dan menimpa Gereja Katedral di Jalan Darmo, Surabaya. Aksi teror pun semakin gencar pada tahun 2000 yang menyasar sepuluh kota di Indonesia dan terus terjadi hingga pada tahun 2021 ini.

Selain berupa tindakan terorisme dan radikalisme, ada juga kasus kerusuhan yang disebabkan oleh kurangnya toleransi dalam memandang perbedaan agama, seperti konflik Poso pada tahun 2000, konflik Sampang pada tahun 2004, perselisihan agama antara umat Islam dan Nasrani di Aceh pada tahun 2015, konflik Tanjungbadai pada tahun 2016, dan konflik pembongkaran menara Masjid Al-Aqsha Sentani di Papua pada tahun 2018. Bahkan, dalam keseharian pergaulan masyarakat sendiri, rasisme terhadap agama belum dapat dihilangkan sepenuhnya karena mereka memandang perbedaan agama adalah suatu ancaman terhadap keseragaman.

Dengan melihat beragam peristiwa dan kejadian yang telah disebutkan di atas, tentu dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia masih memiliki tugas yang besar dalam menanamkan sifat toleransi pada generasi penerus bangsa. Tidak hanya sekadar teori, tetapi juga menekankan pada segi praktik, dengan membiasakan generasi bangsa dalam memandang perbedaan sebagai pemerkaya bangsa, bukan alat pemecah belah.

“Tugas maha besar generasi kita adalah mewariskan toleransi, bukan kekerasan.”
-Ridwan Kamil

 

KONTRIBUTOR:

1.    Sri Mulyani

2.    Gilar Angga Yudatama


Related Post

Back to Top

Cari Artikel