Sebagai pedoman bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara, Pancasila menekankan keadilan sosial untuk dijadikan landasan etis dalam menyusun kebijakan ekonomi, sosial, dan politik yang adil. Sejak dulu, turunnya angka kemiskinan menjadi indikator dari progres mengusahakan keadilan sosial. Tak jarang, naik-turunnya angka kemiskinan justru dipolitisasi bahkan digembor-gemborkan sebagai parameter keberhasilan pemimpin. Di Indonesia, penduduk akan diklasifikasikan kategori miskin ketika pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan berada di bawah garis kemiskinan (poverty line).
Berdasarkan laporan yang dirilis BPS, per September 2024, tingkat kemiskinan di Indonesia adalah 8,57% dari total populasi atau sekitar 24,06 juta orang. Secara statistik, angka ini turun dari 9,03% atau 25,22 juta orang pada Maret 2024. Angka 8,57% tersebut diklaim sebagai yang terendah sejak BPS mulai merilis data kemiskinan pada tahun 1960. Lalu, apakah angka ini betul-betul peningkatan taraf hidup rakyat atau hanya capaian semu, mengingat pemerintah tidak pernah memperbarui metodologi pengukuran garis kemiskinan selama 26 tahun terakhir?
Kembali ke garis kemiskinan. Pada September 2024, garis kemiskinan tercatat Rp595.242,00/kapita/ bulan atau Rp21.250 per hari. Rata-rata tersebut diperoleh dengan Metode Cost of Basic Needs (CBN) yang hanya fokus pada kebutuhan kalori, tetapi mengabaikan aspek kesejahteraan lain seperti kualitas gizi atau kesehatan.
Beberapa hal tersebut seharusnya cukup untuk memantik logika sehat kita: apakah telah terjadi bias? Apakah garis kemiskinan kita sebenarnya terlalu rendah? Apakah mungkin, angka kemiskinan harusnya lebih tinggi dari yang terpotret secara statistik?
Jika ternyata garis kemiskinan memang terlalu rendah, artinya besar kemungkinan bahwa ada orang miskin yang tersembunyi secara statistik. Semoga, saran dari World Bank untuk mengubah garis kemiskinan segera dipertimbangkan dan ditindaklanjuti.
Karena ada yang lebih ironis dari kemiskinan yang tersembunyi dibalik statistik, yaitu ketika angka kemiskinan justru dijadikan alat legitimasi dari program-program yang sebenarnya salah sasaran atau bahkan salah kantong. Ini patut menjadi perhatian kita bersama, sebab keadilan sosial tidak bisa dibangun di atas data yang dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan. Sekali lagi, selamat hari lahir Pancasila.
Kontributor: Atika Tegar Imawati
No comments:
Post a Comment