Media Center – Kesehatan mental
akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai dibicarakan, terutama di Indonesia.
Kepedulian masyarakat terhadap kesehatan mental kini cenderung lebih tinggi
dari beberapa tahun sebelumnya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh fenomena
Pandemi Covid-19 di Indonesia yang belum juga berakhir. Seperti yang kita
ketahui bahwa Pandemi Covid-19 tidak hanya menyerang kondisi fisik saja, namun
juga mental kita. PPKM, isolasi mandiri, dan berita duka yang terus
mengelilingi kita seringkali membuat kita merasa stress, cemas, atau hingga
berujung pada penyakit mental (mental
illnes). Kondisi pandemi memaksa masyarakat untuk menjaga tingkat imunitas
masing-masing sebaik mungkin dan kesehatan mental merupakan salah satu faktor
yang memengaruhi tingkat imunitas tersebut. Maka, tidak heran jika layanan
psikiater, konsultasi kesehatan mental, dan sejenisnya menjadi lebih ramai.
Kini, telah ada
banyak media yang menyuguhkan informasi, berita, dan ruang diskusi yang
berkaitan dengan kesehatan mental. Informasi-informasi mengenai jenis, gejala,
hingga tips-tips untuk mengatasi penyakit mental dapat ditemui di berbagai
media sosial seperti Instagram dan YouTube. Masyarakat akhirnya dapat
dengan mudah mengakses informasi-informasi tersebut kapan pun dan di mana pun. Namun, mudahnya akses informasi
terhadap penyakit mental kerap kali menimbulkan kesalahan persepsi masyarakat
terhadap kondisi mental yang mereka alami. Tidak sedikit dari mereka yang
mengklaim atau mendiagnosis bahwa mereka memiliki penyakit mental tertentu.
Peristiwa semacam ini disebut self-diagnosis.
Dilansir dari
Alodokter, self-diagnosis merupakan
upaya untuk mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapat secara
mandiri. Padahal, diagnosis suatu penyakit sebenarnya hanya boleh dilakukan
oleh tenaga medis seperti dokter, psikiater atau psikolog. Sekilas, diagnosis
mandiri ini mampu membuat orang bisa segera menentukan langkah selanjutnya
untuk mengatasi penyakitnya tersebut. Namun, yang dikhawatirkan adalah jika
diagnosis tersebut kurang tepat. Seseorang bisa mendapatkan salah penanganan
dari kesalahan diagnosisnya. Hal tersebut merupakan salah satu bahaya dari
tindakan self-diagnosis. Lebih
jelasnya, berikut beberapa bahaya yang bisa ditimbulkan dari tindakan self-diagnosis
1.
Labelling
Secara umum, self-diagnosis tidak selamanya akurat
dan bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya ada seseorang yang mengaku dirinya
mengalami social anxiety disorder.
Meskipun ia mengalami ketakutan untuk berinteraksi dengan orang lain, takut
untuk dinilai orang lain, serta menghindari berbagai kondisi yang memungkinkan
seseorang tersebut menjadi pusat perhatian ketika berada di forum umum (contoh
gejala social anxiety disorder),
belum tentu ia menderita social anxiety
disorder. Bisa jadi seseorang tersebut hanya nervous atau grogi karena belum siap dan terbiasa berada di depan
umum.
Ketika seseorang
tersebut mengaku dirinya mengalami social
anxiety disorder karena mendiagnosis secara mandiri, maka hal tersebut akan
memengaruhi mindset-nya. Ia hingga
teman-temannya atau orang sekitarnya akan menganggap bahwa ia mengalami
gangguan mental tersebut. Pada kondisi tersebut, secara tidak langsung
terjadilah fenomena labelling padanya.
Hal yang perlu diiingat adalah tidak semua orang bisa dengan mudah untuk
menerima vonis suatu penyakit seperti gangguan mental. Labelling atas vonis gangguan mental tersebut bisa memengaruhi mindset-nya hingga membuat seseorang
tersebut merasa insecure, tidak
percaya diri dan bahayanya dapat memunculkan penyakit gangguan mental yang
sesungguhnya.
2.
Menyakiti perasaan peyintas
penyakit mental sesungguhnya
“Aku yakin aku kena
bipolar, deh.”, “Gimana ya? Dari gejalanya, Aku ada gangguan kecemasan ini,
mah.” Kalimat tersebut mungkin pernah kita dengar dari orang sekitar kita atau
kita temui di media sosial. Ucapan tersebut sebenarnya berbahaya karena akan
menyakitkan apabila didengar atau dibaca oleh orang yang memang telah
dinyatakan divonis gangguan mental oleh psikolog atau psikiater. Karena pada
prinsipnya penyintas penyakit mental pun sebetulnya resah dan tidak ingin
menderita penyakit mental tersebut. Maka kurang etis apabila kita mendiagnosis
mandiri dan menyebarkan diagnosisnya kepada orang sekitar atau media sosial
karena bisa menyinggung perasaan para
penyintas penyakit mental yang sebenarnya.
3.
Kesalahan dan keterlambatan
penanganan
Seperti narasi di
atas, kesalahan diagnosis pada kesehatan mental bisa menimbulkan fenomena labelling dan dapat menyinggung
penyintas penyakit mental yang sesungguhnya. Kesalahan diagnosis juga
menimbulkan kesalahan penanganan penyakit yang diderita seseorang. Misalnya,
seseorang mendiagnosis dirinya terkena gangguan kecemasan karena ada
gejala-gejala seperti pusing, sakit kepala, dan sering merasa lelah. Namun, sebenarnya
ada penyakit yang lebih serius yang dideritanya seperti tumor pada otak atau
yang lainnya. Tentu hal tersebut cukup berbahaya karena ia tidak mengetahui
adanya tumor atau penyakit lain, ia hanya akan melakukan penanganan untuk
penyakit gangguan kecemasan. Atas kesalahan diagnosis tersebut, ia juga dapat
mengalami keterlambatan penanganan untuk penyakitnya sehingga dikhawatirkan
dapat memperburuk keadaan.
Solusi
Terkait hal tersebut, ada beberapa
cara untuk mengatasi bahaya dari self-diagnosis yang dapat kita lakukan.
1.
Pertama, pilah informasi dengan
bijak. Di internet atau media sosial, siapa pun bisa mengunggah atau menulis
informasi. Namun, tidak semua pengunggah atau penulis memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang sama. Sehingga, tidak semua informasi memiliki kredibilitas yang
sama pula. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi kesalahan konsep dan tidak
lengkapnya infomasi di internet atau media sosial sehingga perlu pengolahan
informasi yang lebih bijak dari diri kita.
2.
Kedua, jangan menerima secara
mentah-mentah atas klaim orang lain terhadap kesehatan mental kita. Karena apa
yang orang lain katakan terhadap kesehatan mental kita bisa jadi adalah
diagnosis tanpa dasar data yang jelas dan akurat. Vonis tentang penyakit mental
hanya boleh dilakukan oleh para ahli yang profesional seperti dokter,
psikiater, dan psikolog.
3.
Ketiga, apabila kita merasa
memiliki gejala yang kita curigai merupakan gejala dari gangguan mental
tertentu, segera periksakan diri kita kepada ahli yang berkompeten di
bidangnya. Saat ini banyak sekali layanan kesehatan mental yang memberikan
konseling daring secara gratis yang dapat kita akses dengan mudah melalui
internet. Kita juga dapat melakukan pemeriksaan kepada tenaga medis seperti
dokter, psikiater atau psikolog.
Dari uraian di atasi, tidak ada
salahnya jika kita mengakses informasi yang ada di internet, media sosial,
buku, atau sumber mana pun tentang kesehatan mental karena hal tersebut akan
menambah wawasan kita. Namun, tidak diperbolehkan bagi kita untuk mendiagnosis
secara mandiri tentang suatu penyakit mental, karena itu merupakan hak dari
dokter, psikiater, atau psikolog. Jika mengalami gejala-gejala yang dicurigai
merupakan gejala penyakit mental tertentu, lebih baik segera berkonsultasi
dengan pihak yang berkompeten agar terhindar dari dampak negatif self-diagnosis.
Kontributor: Novenda
Rian dan Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar