Toxic Positivity : Ketika Berpikir Positif Bukanlah Solusi

Sumber : Freepik

“Udah positive thinking aja, semua bakal baik-baik aja kok.” Apakah Anda pernah mendengar kalimat itu? Kata-kata penyemangat tersebut sering kita dengar dari teman atau sahabat ketika kita sedang mencurahkan permasalahan yang kita hadapi. Kita mungkin juga pernah berada di posisi sebaliknya dan berusaha untuk menghilangkan emosi negatif mereka dengan mengucapkan kata-kata seperti di atas. Namun, kita perlu ingat bahwa emosi tidak dapat diartikan sebagai amarah saja. Emosi merujuk pada perasaan atau ekspresi yang ditunjukkan sebagai bentuk reaksi terhadap orang lain atau suatu hal.

Sekilas tidak ada yang salah dari kalimat penyemangat tersebut. Tetapi, sebenarnya kalimat tersebut dapat membawa toxic (racun). Kalimat penyemangat semacam itu membuat kita secara tidak sadar untuk berpikir positif pada saat kita mengalami emosi negatif, yang sejatinya perlu diekspresikan atau diluapkan. Berpikir positif yang berlebihan dengan menyangkal atau menyembunyikan emosi negatif yang kita alami ini disebut sebagai toxic positivity. Sadar atau tidak, kalimat penyemangat dari teman kita tersebut seperti ada yang mengganjal dan terkesan menjengkelkan. Namun, di sisi lain kita tetap mengikuti ajakan mereka untuk bersikap positif dan menganggap bahwa itu yang terbaik untuk mengatasi masalah kita.

Dilansir dari Psychology Today, toxic positivity digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang berpikir bahwa menjadi positif adalah satu-satunya cara yang tepat untuk menjalani hidup. Lantas, apakah kita memang harus selalu bersikap positif? Apakah kita tidak boleh untuk merasa sedih? Selalu bersikap positif berarti menyangkal adanya emosi negatif dalam diri manusia. Ketika kita menyembunyikan emosi negatif, kita sama halnya dengan berbohong kepada diri sendiri. Toxic positivity justru menyebabkan seseorang tidak bisa meluapkan emosi dan lebih memilih untuk memendamnya. Tentu hal ini tidak baik karena emosi negatif, seperti perasaan sedih, kesal, dan marah yang dipendam, jika diakumulasikan akan membawa dampak yang lebih buruk lagi. Salah satu muara negatif dari toxic positivity adalah gangguan pada kesehatan mental.

Toxic positivity terjadi ketika terdapat dua individu atau lebih, yang mana satu individu menceritakan keluhan, keresahan, atau permasalahannya dan individu lainnya menanggapi dengan kata-kata penyemangat yang dianggap sebagai solusi. Kata-kata penyemangat itu dapat berupa “Keep smiling” atau “Udah kamu nggak boleh gitu! Nggak usah terlalu dipikirin, masih banyak cowok di luar sana yang lebih baik”. Bahkan, tidak jarang individu lain memberi tanggapan dengan membandingkannya dengan masalah lain, “Udah jangan sedih, kamu masih mending seperti ini, lah kemarin temen aku ada yang bla, bla, bla ….” Ungkapan tersebut justru terkesan merendahkan masalah yang dihadapi oleh individu yang mencurahkan isi hatinya.

Mereka melontarkan kata-kata tersebut tanpa memberi kesempatan kepada individu yang sedang bercerita tadi untuk mencurahkan atau mengekspresikan emosi atau perasaannya terlebih dahulu. Seolah-olah, mereka mengabaikan perasaan sedih atau keluhannya sehingga kata-kata penyemangat tadi justru akan terasa hambar. Alhasil, ia harus memendam emosi negatif berupa kesedihan atau keluhan yang dialami dan menganggap bahwa dirinya baik-baik saja. Proses memendam emosi negatif inilah yang bisa menjadikan sebuah bumerang bagi kondisi kesehatan mentalnya.

Sebagai mahasiswa PKN STAN, bukan tidak mungkin kita mengalami fenomena ini. Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), tugas yang menumpuk, serta dikombinasikan dengan adanya pandemi Covid-19, tidak bisa dipungkiri dapat mengakibatkan mahasiswa mengalami depresi. Sering kita beranggapan bahwa dukungan kepada teman adalah yang utama, terutama dengan memberi semangat melalui kata-kata yang sebenarnya adalah toxic positivity. Memberi semangat kepada orang lain memanglah baik, tetapi bagaimana jika respon teman kita sebaliknya? Mereka bisa saja merasa semakin sedih dan kian terpuruk. “Udahlah, masih ada kuis lain, harusnya kamu bersyukur dong, karna bla, bla, bla ….” Padahal, mereka sebenarnya hanya ingin didengarkan, bukan hanya sepotong kalimat penyemangat.

Toxic positivity dapat berdampak pada gangguan kesehatan mental. Mereka yang terlalu sering mengalami kondisi seperti itu akan terbiasa memendam emosi negatifnya. Kebiasaan tersebut dalam jangka waktu yang lama mampu membuat mereka kurang percaya diri dan dapat kesulitan untuk mengungkapkan emosi atau perasaannya kembali. Layaknya efek domino, gejala-gejala tersebut dapat menjalar pada gangguan mental yang lain.

Dampak selanjutnya yang dapat ditimbulkan dari toxic positivity adalah individu tersebut dapat menjadi seseorang yang anti terhadap perasaan negatif. Berawal dari perasaan negatif yang terabaikan, kepedulian sosialnya terhadap sekitar dapat berkurang. Nalurinya dalam menunjukkan bahwa semua orang sebaiknya melihat sisi positif dari kehidupan dan merasakan emosi negatif merupakan sebuah hal yang tabu.

Dengan berkaca pada narasi di atas, sudah sepantasnya kita sebagai mahasiswa yang erat dengan pergaulan, lebih peka terhadap isu-isu seperti ini. Bukanlah suatu hal yang sulit untuk menghindari toxic positivity. Satu hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah kita perlu berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Kemudian, sebisa mungkin kita dapat memahami kondisi lawan bicara ketika ia sedang menceritakan masalahnya. Kita hendaknya memikirkan kata-kata yang tepat untuk menanggapi ceritanya. Setidaknya, ada rasa empati yang kita tunjukan dan bukan hanya sekedar kata penyemangat saja. Kita juga dapat memberikan solusi atas masalah yang dihadapi olehnya, asal kita mampu memberikan saran yang baik.

Adapun kata-kata yang dapat digunakan untuk menunjukkan rasa empati misalnya “Wajar kok kamu sedih.”; “Sebenernya kamu ada apa? Cerita aja ke aku.”; “Kamu keren, masih kuat dalam kondisi seperti itu.”; “Pasti berat banget ya buat kamu menghadapi ini. Lalu, bagaimana keadaanmu? Apa yang bisa aku bantu untuk mengatasi masalahmu?”  Tentu mengucapkan kalimat-kalimat tadi bukanlah hal yang sulit, bukan? Kalimat-kalimat tersebut akan sangat berbeda ketika kita mengucapkannya sembari menunjukkan sikap empati kita terhadap lawan bicara. Namun, kita juga tidak perlu berlebihan membawanya berlarut-larut dalam kesedihan.

Dengan menunjukkan sikap empati, akan jauh lebih baik daripada sekedar memberikan sepotong kalimat penyemangat, tanpa memberi kesempatan individu yang sedang bercerita untuk mengungkapkan ekspresinya. Setiap orang perlu untuk mengekspresikan emosinya, entah perasaan sedih, senang, bahagia, atau lainnya. Emosi negatif, seperti rasa sedih, bukanlah suatu hal yang lebay atau dianggap lemah. Justru dengan jujur terhadap perasaan diri sendiri dapat membuat kita menjalani hidup dengan mental yang lebih sehat. 

Kontributor : Novenda Rian dan Falufi Hotmaria

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.