Pakaian, Pelecehan Seksual, dan Mentalitas Menyalahkan Korban

Sumber : constructionnews.co.uk










Kasus pelecehan seksual, dari zaman manusia belum mengenal apa itu gadget hingga munculnya Revolusi Industri 4.0, bahkan Jepang yang sudah selangkah lebih maju dengan Society 5.0-nya, masih kian marak dijumpai.  Masalah yang dihadapi kaum perempuan pun masih sama, yaitu adanya budaya dan mentalitas victim-blaming kepada korban. Pola pikir yang terus menyalahkan para korban pelecehan seksual dan kekerasan seksual atas apa yang mereka kenakan dan lakukan. Mentalitas ini akan terus ada jika akar permasalahannya tidak segera diatasi. Penelitian[1] menunjukkan bahwa orang memiliki tendensi untuk menyalahkan penyintas yang disebabkan karena mereka percaya akan suatu dunia yang aman dan adil di mana pelaku kejahatan tidak akan pernah mengganggu mereka secara pribadi.

Pameran baju para penyintas seksual membuktikan bahwa pakaian tidak berkorelasi terhadap peluang menjadi target pelecehan seksual. Banyak dari mereka yang memakai pakaian tertutup, mulai baju-baju yang dipakai anak kecil, baju kantor, hingga baju yang dipakai wanita muslim juga kerap menjadi korban pelecehan seksual. Tidak usah jauh-jauh ke pameran, coba tanyakan ke beberapa orang yang kamu kenal apakah mereka pernah menjadi korban pelecehan seksual.

Cat-calling adalah jenis pelecehan seksual yang paling sering terjadi. Tak bisa dimungkiri, angka pelecehan selalu naik karena banyak orang yang menganggap bahwa itu adalah hal biasa. Setiap hari banyak kasus pelecehan seksual bermunculan, itu yang sudah dilaporkan, bagaimana dengan yang belum? Lebih banyak lagi. Menurut data statistik[2], dari 1000 kasus pelecehan seksual, 995 pelaku bisa bebas tanpa adanya penuntutan. Tentunya, ini juga dapat dikatakan berkorelasi langsung dengan jumlah kasus pelecehan seksual yang tidak dilaporkan. Hal ini juga mengindikasikan banyaknya jumlah korban yang menderita dalam keheningan dan ketakutan untuk melapor karena adanya budaya victim-blaming yang menyebabkan tekanan sosial dan emosional dari masyarakat. Kasus pelecehan seksual sudah seperti gunung es, hanya sebagian kecilnya saja yang terlihat,  begitu juga dengan kasus pelecehan seksual yang dialami para wanita dan pria waktu sedang melaksanakan Haji[3]. Bukti ini semakin memperkuat bahwa sekalipun di tempat paling suci, di tempat para umat muslim sedang melakukan ibadah menghadap Tuhan, pelecehan seksual masih terjadi, bahkan ketika pakaian yang dikenakan sangat tertutup, longgar, dan sesuai syari’at.

Setiap hari kasus kekerasan seksual makin meroket dan tidak pandang bulu, tua atau muda, baju tertutup atau terbuka, semua bisa mengalaminya. Ironisnnya, dengan banyaknya realitas kasus pelecehan seksual dan jurnal-jurnal yang menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara jenis pakaian yang dipakai dengan tindak pelecehan seksual, tidak serta merta mengubah mindset masyarakat dalam menanggapi kasus pelecehan seksual. Kenyataannya, masih banyak orang yang kerap menyalahkan penyintas. Mentalitas-mentalitas seperti inilah yang makin merusak kejiwaan penyintas.

Hal serupa juga sering dialami oleh para penyintas ketika memilih speak-up atas kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Selain menyalahkan soal pakaian yang dikenakan dan apa yang dia kerjakan waktu itu, masyarakat juga menuduh seolah-olah dia yang mengundang para pelaku untuk melakukan aksinya sehingga respon yang akan diberikan ketika mengetahui pelaku pelecehan seksual adalah orang yang memiliki wajah atraktif atau tidak juga akan berbeda. Selain itu, banyak komentar netizen yang menganggap bahwa korban menikmati pelecehan atau kekerasan seksual yang dia alami semata-mata karena korban diam ketika hal itu terjadi, Tentu, para netizen ini tidak memahami apa yang disebut dengan tonic immobility atau ketidakmampuan tubuh sementara untuk memberikan respon sehingga mereka tidak bisa mengendalikan tubuh dan suara, hal ini juga berkaitan dengan respon fight or flight sebagai perlindungan dasar manusia.

Poin yang ingin saya sampaikan di sini bukan untuk percaya buta atas apa yang diceritakan, tapi cobalah untuk lebih berempati dan mendukung korban, karena banyak penyitas yang bahkan memilih untuk menutup diri atas apa yang dia alami karena takut akan respon yang diberikan masyarakat yang mempunyai mentalitas menyalahkan korban. Jangan sampai kita sendiri yang menjadi pelaku tidak langsung dan memperkuat stigma yang diberikan kepada penyintas. Sepertinya, PR kita masih panjang saat kita melihat masih banyaknya orang yang melanggengkan rape culture dan victim-blaming. Coba bayangkan ketika kita berada di posisi korban, tidakkah menyakitkan membayangkan bagaimana rasanya jika suara kita terabaikan dan kita disalahkan atas hal buruk yang menimpa diri kita?

Kontributor : Iis Setyawati (@iisstywt)

Referensi:

[1] https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4899-0448-5_2

[2] https://www.rainn.org/statistics/criminal-justice-system

[3] https://stepfeed.com/women-are-speaking-out-about-being-sexually-harassed-during-hajj-8156

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.